Senin, 03 Juni 2013

Yuk Kita Mengamankan Harta Tersisa Berupa Kekayaan Hayati_Green Economy


gambar berita warta ekonomi - mengamankan harta tersisa berupa kekayaan hayati WE.CO.ID - Ratifikasi Protokol Nagoya menjadi undang-undang (UU) merupakan momentum bagi Indonesia untuk mencegah biopiracy, pencurian sumber daya genetik (SDG) dan pengetahuan tradisional.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan terletak di garis khatulistiwa, Indonesia benar-benar dianugerahi kekayaan sumber daya alam yang berlimpah dan tradisi yang beragam. Kekayaan itu terhampar dari puncak-puncak gunung tertinggi hingga lautan terdalam di negara berpenduduk lebih dari 240 juta jiwa.

Sekitar 17 persen keseluruhan makhluk hidup di muka bumi berada di Indonesia, dan negara ini juga menjadi salah satu dari 12 Pusat Keanekaragaman Hayati karena merupakan kawasan terluas di Pusat Indomalaya. Tidak heran bila negeri ini disebut sebagai mega biodiversity.

Terdapat sekitar 28.000 jenis tumbuh-tumbuhan dan diantaranya 400 jenis buah-buahan yang dapat dimakan dan sangat bermanfaat sebagai sumber keragaman genetik bagi program pemuliaan, seperti pisang, durian, salak dan rambutan yang merupakan buah asli Indonesia.

Selain itu 7.500 jenis tumbuhan obat yang merupakan 10 persen tumbuhan obat yang ada di dunia berada di Indonesia, dan lebih dari 6.000 spesies tanaman bunga, baik yang liar maupun dipelihara telah dimanfaatkan untuk keperluan bahan makanan, pakaian, dan obat-obatan.

Namun demikian tercatat baru 940 spesies tanaman yang telah diidentifikasi.

Jika eksploitasi besar-besaran sumber daya mineral dan hutan secara legal mau pun ilegal begitu tampak di depan mata, cilakanya tidak untuk sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional. Biopiracy menjadi ancaman yang tidak mudah terdeteksi.

Entah berapa sering Indonesia harus gigit jari gara-gara pihak asing lebih dulu menetapkan paten untuk produk yang berasal dari tumbuhan atau buah-buahan asli Indonesia. Dan entah berapa banyak sampel genetik dari tumbuhan atau hewan Indonesia dicuri peneliti asing yang masuk sebagai turis.

Terlindungi Protokol Nagoya Pengacara Lingkungan Harry Alexander mengatakan, sebelum Protokol Nagoya ditanda tangani ada pemahaman bahwa sumber daya genetik yang dimiliki Indonesia ada di ranah publik atau "public domain" sehingga bebas diakses.

Dengan telah diratifikasinya Protokol Nagoya, ia mengatakan bahwa warga asing harus "ketok pintu" dengan menggunakan "Prior Information Concern" (PIC) dan harus berbagi keuntungan jika hendak memanfaatkan SDG milik Indonesia.

"Dari bisnis seakan-akan ini akan menambah biaya, tapi sebenarnya bisnis justru butuh kepastian hukum dan protokol nagoya memberi itu," kata Harry.

Protokol Nagoya, lanjutnya, akan menimbulkan "tsunami" perubahan yang berdampak pada semua perjanjian internasional.

Ia mengatakan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) kini telah mengikuti Protokol Nagoya. Dalam waktu dekat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) juga akan merubah Article 29 mengikuti apa yang tertuang pada Protokol Nagoya.

Ia mengingatkan maksud dari Protokol Nagoya bukan lah tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang berarti sekedar bagi keuntungan, tetapi membayar hak orang.

"Ada hak yang dipakai di sana. Jadi kalau perusahaan farmasi mau lakukan 'research and development' tidak usah ke hutan, datangi saja masyarakat hukum adat atau yang mengayomi SDG tersebut, sehingga sudah diketahui apa manfaatnya," ujar dia.

Untuk itu lah keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya menempatkan pemerintah sebagai melindungi masyarakat ketika bernego atau pun melawan perusahaan multinasional asing terkait hak paten atas SDG atau pun pengetahuan tradisional.

Pemanfaatan tidak maksimal Ketua Penilai Peneliti Pusat (TP3) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Endang Sukara mengatakan, sudah waktunya bagi pemerintah untuk memberikan "dukungan politik" yang kuat dan investasi yang layak sehingga dapat mewujudkan bangsa dengan kesejahteraan tinggi melalui sains dan teknologi, serta keragaman budaya dan sumber daya hayati.

Pemberian insentif dan investasi yang layak pada industri yang mengembangkan sumber daya hayati dan SDG seharusnya dilakukan pemerintah. Sehingga bukan saja pihak asing yang memanfaatkan dan mengambil miliaran dolar AS keuntungan dari pengembangannya.

Protokol Nagoya, menurut dia, menjadi senjata ampuh layaknya pisau tajam untuk dapat menyelenggarakan riset pengembangan terhadap komposisi "biochemical" dr kekayaan sumber daya hayati dan SDG yang Indonesia miliki.

Konvensi ini, menurut dia, menjadi penanda masyarakat dunia sudah sadar keanekaragaman hayati akan menjadi peluang besar bagi bangsa di dunia menjadi adidaya. Karena itu tidak heran bila banyak pihak akan berburu ke Indonesia.

"Tetapi kita sendiri belum siap untuk melaksanakannya. Jadi Protokol Nagoya akan menjadi alat untuk bisa selengarakan riset pengembangan agar Indonesia lebih siap," lanjutnya.

Jika pemerintah hanya berhenti pada retorika, diam saja, tidak ada wujud dukung investasi dan industri dengan insentif pajak sumber daya hayati ikut tereksploitasi seperti sumber daya mineral yang saat ini pun lebih banyak dikuasai asing.

Deputi III Kementerian Lingkungan Hidup, Arief Yuwono mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sudah menggagas penguatan kelembagaan terkait implementasi UU Nomor 11 Tahun 2013. Beberapa lembaga yang mendukung langkah-langkah implementasi Protokol Nagoya akan persiapkan.

National Competent Authorities, yang memberi izin kepada pihak yang ingin mengakses SDG dan pengetahuan tradisional. Kementerian yang dapat mendukung antara lain Kementerian Kehutanan (Kemhut), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian Pertanian (Kementan).

KLH selaku National Vocal Point yang sejak awal (1992) mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi. Selanjutnya diperlukan penguatan Ditbalitbang, sebelum dibentuk "Check Point".

Adat dan alam Sementara mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim mengingatkan pergunakan "biology resouce" harus secara berlanjut tidak menghabiskannya, ada pembagian yang adil, serta syarat penggunaan sumber alam hayati dengan "ketok pintu" pada pemilik alam.

"Jadi jangan masuk ke hutan seolah-olah hutan ini punya negara, dan negara seolah-olah negara tidak mengakui ada hak ulayat adat di dalam itu," ujar Emil.

Ia menegaskan sebelum Republik Indonesia berdiri, masyarakat yang kala itu belum bernama masyarakat Indonesia sudah memiliki hukum adat, hak ulayat tanah.

Karena itu, lanjutnya, syarat di dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (Konvensi Nagoya) ini adalah sebelum masuk harus ketok pintu dulu, fair sharing antara pemilik kekayaan sumber daya alam hayati dan yang mengelola dan pemilik teknologi.

Pengelolaan harus berlanjut tidak hanya diperuntukkan bagi generasi sekarang saja tapi hingga anak cucu.

"Apa itu mimpi? Tidak. Karena alam menunjukkan alam berkembang jutaan tahun tanpa merusak alam, itu yang dinamakan biokapasitas alam," ujar dia.

Mempelajari kearifan ilmu alami, maka alam bukan saja alam mati, ujar dia. Alam adalah guru, karena itu perlu memahami dan menghargai keanekaragaman hayati yang dimiliki sendiri.

"Pahami bagaimana ia (alam) menentukan nasib bangsa ke depan, jika kita tidak memperhatikan bioresource habis kita di 2045 ini," tegas Emil.

Karena itu, ia mengingatkan agar pascapenandatanganan Konvensi Nagoya jangan berhenti pada hal tersebut saja tetapi menanjak pada memberi isi terhadap keanekaragaman hayati.(Ant)

(redaksi@wartaekonomi.com)
Foto: masdurohman.blogspot.com
Cipto - Green Economy
Minggu, 02 Juni 2013 09:02 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar